Film LIMA: Bingkai Laku Pancasila Atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Dok. Pri | Lima dan Mata Air Keteladan

Dewasa ini, para pekerja seni Indonesia pada sektor film, sedang bergairah dalam memproduksi film bertema kebhinnekaan. Hal tersebut menjadi fenomena yang cukup menarik bagi saya pribadi,
karena bukan tidak mungkin pesan kebhinnekaan akan lebih mudah tersampaikan, baik oleh generasi muda atau pun pelbagai generasi yang hidup pada zaman ini.
LIMA merupakan film hasil karya lima sutradara, yaitu Tika Pramesti, Lola Amaria, Harvan Agustriansyah, Shalahudin Siregar, dan Adriyanto Dewo. Walau digarap oleh lima sutradara, namun film ini tetap hadir secara utuh sebagai sebuah film. Selain dari pada itu, setiap sutradara memberikan gambaran tersendiri atas masing-masing nilai ideologi Pancasila dalam laku keseharian.
Setiap adegan yang ada pada film lima, memberikan gambaran laku keseharian yang sangat lekat dengan Pancasila. Film ini hadir dalam bingkai keluarga Maryam, seorang wanita Muslim yang bersuamikan seorang Kristen. Adalah Fara, Aryo, dan Adi anak-anak Maryam, yang memiliki keyakinan berbeda. Fara hadir sebagai seorang Muslimah, dan saudara laki-lakinya penganut Kristiani.
Dok. Pri | Tiket Lima

Konflik mulai muncul saat Maryam meninggal, ketiga kakak beradik ini harus bersilang pendapat atas beberapa hal, seperti cara pengurusan jenazah, menyolati jenazah, hingga penguburan jenazah. Satu konflik yang membuat saya tertarik ialah, ketika masyarakat harus menggunjing keluarga tersebut, dan tidak memperkenankan Aryo anak lelaki Maryam untuk masuk liang lahat, karena status agama.
Apa yang dipergunjingkan oleh masyarakat tersebut, boleh jadi menjadi beban bagi keluarga tersebut. Namun Fara, selaku anak tertua dari keluarga tersebut, atas dasar welas asih memberikan kesempatan kepada Aryo untuk mengurus sang Ibu untuk terakhir kalinya. Adapun gunjingan tentang dosa yang ditanggung, Fara mengatakan biarlah Fara yang menanggung dosa tersebut.
Bagi saya sikap yang munculkan oleh Fara, selain sikap welas asih yang dapat memanusiakan manusia, juga bentuk perwujudan dari nilai laku Pancasila yang pertama, yaitu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut juga memberikan penjabaran bahwa, manusia harus dapat menghargai satu dengan yang lainnya, sekalipun kita memiliki perbedaan dalam suku, ras, agama.
Welas asih tetap harus dihadirkan kepada siapapun, terlebih kepada keluarga sendiri welas asih menjadi sebuah kewajiban, dan apa yang dilakukan oleh Fara dalam film LIMA, bagi saya merupakan bentuk berkasih sayang dengan rasional. Selain dari pada cara berpikir Fara, memberikan cerminan kepada saya bahwa menghargai dan mencintai harus atas berdasar keadilan dan kerelaan atas sebuah kondisi.
Dok. Pri | Poster Film Lima


Cara pandang yang dihadirkan oleh Fara, dalam menyikapi permasalahan keluarga dan kondisi sosial masyarakat, terlihat begitu mandiri dan tepat. Seperti memberikan gambaran bahwa, setiap orang di Indonesia berhak untuk berfikir kritis, dan merdeka dalam bersikap dan berpendapat.
Boleh jadi, cara pandang yang dilakukan oleh Fara dalam berfikir kritis, dan lentur dalam menyikapi teks-teks agama, sangat jarang dilakukan oleh generasi masa kini. Mungkin ada pula yang memiliki pemikiran macam Fara, namun tidak terpublikasi secara main dan tenggelam pada pemikiran kebanyakan yang sangat kaku.
Cara berfikir kritis dan luwes tersebut, boleh jadi begitu tepat dilakukan Fara pada sebuah masyarakat yang begitu kaku dalam menyikapi sebuah teks agama. Fara secara sadar melakukan keputusan tersebut, dengan pertimbangan matang yang didukung oleh referensi yang cukup baik, yaitu dari Khadijah yang pernah belajar di sebuah pesantren.
Fara memberikan contoh toleransi aktif pada lingkungan keluarga, yang pada akhirnya dipandang oleh masyarakat sekitar. Toleransi yang menarik pula ialah, Fara memberikan izin kepada keluarga dari pihak Bapak untuk memberikan dengan tata cara Kristiani.
Sosok Fara bagi saya, adalah interpretasi dari kata toleransi yang bersifat aktif, dan memberikan pembelajaran mendalam atas sila pertama Pancasila. Pancasila dalam laku keseharian itu ada, namun hikmah-hikmah tersebut tersirat dan tersurat. Permasalahan yang boleh jadi kita perlu pertimbangkan, apakah hikmah tersebut dapat kita tangkap atau tidak?
Salam Pancasila!
Sumber Bacaan
Buku Mata Air Keteladan Karya Yudi Latif (Penerbit Mizan)
Buku Meretas Sekat Prasangka, Merejut Harmoni Perjuangan (Penerbit Yayasan Cahaya Guru) 

Komentar

  1. Film yang sangat menarik ya, semoga bisa menjadi contoh Bagi Kita semuanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kayla Elena von Rueti: Lewat Camilan Sehat, Peduli Kesehatan, Lingkungan dan Perempuan